Pada tahun 2023, Timor-Leste sedang berada di ambang pencapaian bersejarah, menjadi anggota tetap Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Namun, mimpi itu terusik oleh sebuah ironi: bukan isu perdagangan atau perbatasan, melainkan seorang buronan pembunuhan dari negara tetangga, Filipina, bernama Arnolfo “Arnie” Teves Jr.
Teves, mantan anggota kongres Filipina, dituduh sebagai otak pembunuhan brutal Gubernur Roel Degamo di Negros Oriental. Saat Filipina menyiapkan proses hukum, Teves justru mendarat di Dili dengan keluarganya, dalam penerbangan komersial yang tampak biasa, tetapi menyimpan kegaduhan diplomatik luar biasa.
Penyambutan Diam-Diam, Sorotan Terang-Terangan
Informasi awal menyebut bahwa Teves menerima sambutan hangat setibanya di Dili. Menurut Fundasaun Mahein, sebuah lembaga non-pemerintah, ia ditempatkan di akomodasi mewah, dan disebut-sebut disambut oleh penasihat keamanan Presiden Timor-Leste, José Ramos-Horta. Kabar ini mengejutkan publik, terlebih setelah muncul dugaan lain bahwa seorang penasihat Presiden Horta saat itu, yang sekarang menjabat sebagai wakil menteri memiliki hubungan bisnis dengan Teves, melalui jaringan usaha.
Berikutnya lagi Teves dicurigai memiliki bisnis atau saham pada sebuah perusahan bisnis konstruksi di Timor-Leste, juga usaha judi online. Ditempat tinggalnya yang mewah Teves mempekerjakan 10 orang Filipina dan 10 orang Timor-Leste.
Presiden Horta sendiri kemudian menyatakan bahwa Teves tidak layak menerima suaka. Namun publik kebingungan: jika Presiden menolak, mengapa penasihatnya menyambut? Apakah ada perpecahan internal atau justru strategi diplomatik yang belum terungkap?
Proses Hukum yang Berliku
Permohonan suaka Teves ditolak pada Mei 2023. Namun, ia tetap tinggal di Timor-Leste, memanfaatkan jalur hukum untuk mengajukan banding. Pada Desember 2024, Pengadilan Banding membatalkan keputusan ekstradisi sebelumnya, dengan alasan risiko penyiksaan dan pelanggaran hak asasi jika ia dikembalikan ke Filipina.
Pemerintah Filipina, yang selama ini menjadi pendukung kuat integrasi Timor-Leste ke ASEAN, geram. Menteri Kehakiman Jesus Crispin Remulla menyebut bahwa keputusan itu bisa membahayakan proses aksesi, menyiratkan bahwa kepercayaan adalah fondasi penting dalam hubungan regional. Departemen Luar Negeri Filipina turut menyuarakan nada serupa: ini bukan hanya soal Teves, tetapi tentang Timor-Leste sebagai mitra kawasan.
Surat, Simpati, dan Solidaritas yang Janggal
Selama masa tinggalnya di Dili, Teves mengirim surat terbuka ke berbagai tokoh penting dunia, termasuk Paus Fransiskus dan Perdana Menteri Timor-Leste, Xanana Gusmão. Dalam suratnya, Teves membandingkan dirinya dengan Benigno “Ninoy” Aquino Jr., menyatakan bahwa jika dipulangkan, ia bisa dibunuh. Ia menyebut bahwa Filipina masih memiliki ancaman hukuman mati—klaim yang faktanya keliru, karena negara itu telah menghapus hukuman mati sejak tahun 2006 dibawah kepresidenan Gloria Arroyo.
Hal yang lebih mengejutkan terjadi ketika sekelompok veteran Timor-Leste, dipimpin Ernesto “Dudu”, menggelar konferensi pers dan menyuarakan dukungan terhadap Teves, dengan kata-kata yang nyaris identik dengan surat yang dikirimkan Teves kepada Xanana Gusmão. Apakah ini kebetulan, pengaruh, atau bentuk manipulasi? Tidak ada yang bisa memastikan.
Ketegangan Diplomatik dan Janji di Meja ASEAN
Meski proses hukum terus berjalan, tekanan diplomatik memuncak menjelang ASEAN Summit 2025 di Malaysia. Timor-Leste membutuhkan konsensus negara anggota untuk diterima sebagai anggota penuh. Di forum tertutup tersebut, Perdana Menteri Xanana Gusmão dilaporkan memberikan jaminan kepada Presiden Filipina bahwa Teves akan dipulangkan.
Keputusan itu menjadi momen penting. Teves ditangkap lagi di Dili dan akhirnya dideportasi ke Manila, dengan jaminan dari Filipina bahwa dia akan diperlakukan secara manusiawi. Pengacaranya, Jose Ximenes, mengecam tindakan ini sebagai ilegal dan tidak manusiawi, karena tidak melalui proses resmi. Putra Teves, Axl, menyebut penangkapan itu sebagai penindasan terhadap hak ayahnya.
Namun, keputusan sudah diambil. Ramos-Horta, yang semula menyatakan kasus ini tidak berpengaruh dengan keanggotaan ASEAN, akhirnya berkata tegas: “Kita tidak bisa membiarkan negara ini menjadi tempat perlindungan buronan.”
Cermin Masa Lalu: Kasus Maternus Bere
Ini bukan pertama kalinya Timor-Leste menghadapi dilema antara hukum dan kepentingan diplomatik. Pada 2009, Maternus Bere, komandan milisi pro-Indonesia yang terlibat pelanggaran HAM pada 1999, ditangkap di Dili. Namun, pemerintah Timor-Leste membebaskannya karena tekanan dari Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Hasan Wirajuda, dengan ancaman tidak hadir dalam perayaan 10 tahun Referendum.
Maternus Bere, mantan komandan milisi Laksaur yang terlibat dalam pembantaian di Gereja Suai pada 1999, ditangkap oleh Polisi Nasional Timor-Leste (PNTL) setelah kembali dari Indonesia. Penangkapannya memicu ketegangan diplomatik, karena Indonesia menuntut agar Bere dibebaskan dan dipulangkan. Menurut laporan, Menteri Hassan Wirajuda menyampaikan kepada Presiden Timor-Leste, José Ramos-Horta, bahwa Indonesia akan meninjau kembali kebijakan diplomatiknya jika permintaan tersebut tidak dipenuhi. Pada 30 Agustus 2009, Bere dipindahkan dari penjara Becora ke Kedutaan Besar Indonesia di Dili. Keesokan harinya, ia dipulangkan ke Indonesia melalui perbatasan Mota’ain, Nusa Tenggara Timur.
Keputusan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan gereja, yang menilai bahwa pembebasan Bere tanpa proses hukum mencederai prinsip keadilan. Kedua kasus tersebut, kasus Bere dan Teves menunjukkan pola: supremasi hukum sering dikorbankan demi menjaga hubungan bisnis, hubungan bilateral dan kepentingan jangka panjang.
Akhir dari Sebuah Saga
Pada Mei 2025, Teves resmi dideportasi ke Filipina. Pemerintah menyatakan bahwa langkah ini diambil demi “keamanan nasional dan integritas diplomatik.” Dengan itu, saga Teves berakhir. Dan beberapa bulan lagi, Timor-Leste akan resmi diterima sebagai anggota ke-11 ASEAN pada Oktober 2025.
Namun, pertanyaan besar masih menggantung: apa harga yang dibayar untuk duduk di meja ASEAN? Seberapa besar pengaruh politik regional terhadap integritas sistem hukum dalam negeri?